Jadwal Sholat

Kalender Hijriyah

Asma'ul Husna

Profil

Foto Saya
Syaiful Rohman
Hanyalah seorang Makhluk Allah SWT yang banyak berlumuran dosa, serta memohon akan ampunannya. Semoga semua dosa-dosa yang telah kulakukan semuanya dapat di ampuninya serta digantikan dengan kebajikan-kebajikan.Serta saat ini sedang mendambakan seorang kekasih yang dapat dijadikan sebagai pendamping hidup untuk melaksanakan sunnah Rosul Muhammad SAW...
Lihat profil lengkapku

Radio Muslim

TV Qur'an

Daftar Pengunjung

DIATAS SAJADAH CINTA


DIATAS SAJADAH CINTA (KISAH ZAHID)
KOTA KUFAH  terang  oleh  sinar  purnama.  Semilir  angin  yang  bertiup  dari  utara membawa hawa  sejuk.  Sebagian  rumah  telah  menutup  pintu  dan  jendelanya.  Namun  geliat  hidup  kota Kufah masih terasa.
Di serambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri  tegap menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teguh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Hati dan  seluruh  gelegak  jiwanya  menyatu  dengan  Tuhan,  Pencipta  alam  semesta.  Orang-orang memanggilnya “Zahid” atau “Si Ahli Zuhud”, karena kezuhudannya meskipun  ia masih muda.
Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di kota Kufah pada masanya. Sebagian besar waktunya  ia habiskan di dalam masjid, untuk  ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota Kufah. Saat itu masjid adalah pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian.
Pemuda  itu  terus  larut  dalam  samudera  ayat  Ilahi. Setiap  kali  sampai  pada  ayat-ayat  azab, tubuh pemuda  itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala-nyala dihadapannya. Namun  jika  ia sampai pada ayat-ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari  langit terasa  bagai mengguyur  sekujur  tubuhnya.  Ia merasakan  kesejukan  dan  kebahagiaan.  Ia  bagai mencium aroma wangi para bidadari yang suci.
Tatkala sampai pada surat Asy Syams, ia menangis, “fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha. qad aflaha man zakkaaha. wa qad khaaba man dassaaha …”
(maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan, sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya …)
Hatinya bertanya-tanya. Apakah dia  termasuk golongan yang mensucikan  jiwanya. Ataukah golongan  yang  mengotori  jiwanya?  Dia  termasuk  golongan  yang  beruntung,  ataukah  yang merugi?
Ayat  itu  ia  ulang  berkali-kali. Hatinya  bergetar  hebat. Tubuhnya  berguncang. Akhirnya  ia pingsan. ***
 Sementara itu, di pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun kurma yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya.
Dalam salah satu kamarnya,  tampak seorang gadis  jelita sedang menari-nari  riang gembira. Wajahnya  yang  putih  susu  tampak  kemerahan  terkena  sinar  yang  terpancar  bagai  tiga  lentera yang menerangi ruangan  itu. Kecantikannya sungguh memesona. Gadis  itu  terus menari sambil mendendangkan syair-syair cinta, “in kuntu ‘asyiqatul lail fa ka’si musyriqun bi dhau’ wal hubb al wariq …” (jika aku pencinta malam maka gelasku memancarkan cahaya dan cinta yang mekar …)  
***
 Gadis  itu  terus menari-nari dengan  riangnya. Hatinya berbunga-bunga. Di  ruangan  tengah, kedua  orangtuanya menyungging  senyum mendengar  syair  yang  didendangkan  putrinya.  Sang ibu berkata, “Abu Afirah, putri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik-baik syair-syair yang ia dendangkan.”
“Ya, itu syair-syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi siang di pasar aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya, Yasir.”
“Bagaimana, kau terima atau…?”
“Ya  jelas  langsung  aku  terima. Dia  ‘kan masih  kerabat  sendiri  dan  kita  banyak  berhutang budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu kesusahan. Di samping itu Yasir itu gagah dan tampan.”
“Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu?” “Tak  perlu!  Kita  tidak  ada  pilihan  kecuali menerima  pinangan  ayah  Yasir.  Pemuda  yang paling cocok untuk Afirah adalah Yasir.”
“Tapi, engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”
“Ah,  itu gampang. Nanti  jika sudah beristri Afirah, dia pasti  juga akan  tobat! Yang penting dia kaya raya.”
 
***
 
Pada  saat yang  sama, di  sebuah  tenda mewah,  tak  jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda tampan dikelilingi oleh teman-temannya. Tak jauh darinya seorang penari melenggak lenggokan tubuhnya diiringi suara gendang dan seruling.
“Ayo bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” bisik temannya.
“Be…benarkah?”
“Benar. Ayo  cepatlah. Dia penari  tercantik kota  ini.  Jangan kau  sia-siakan kesempatan  ini, Yasir!”
“Baiklah. Bersenang-senang dengannya memang impianku.”
Yasir  lalu  bangkit  dari  duduknya  dan  beranjak  menghampiri  sang  penari.  Sang  penari mengulurkan  tangan  kanannya  dan  Yasir  menyambutnya.  Keduanya  lalu  menari-nari  diiringi irama  seruling  dan  gendang.  Keduanya  benar-benar  hanyut  dalam  kelenaan.  Dengan  gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ketelinga Yasir,
“Apakah Anda punya waktu malam ini bersamaku?”
Yasir  tersenyum  dan menganggukan  kepalanya. Keduanya  terus menari  dan menari. Suara gendang  memecah  hati.  Irama  seruling  melengking-lengking.  Aroma  arak  menyengat  nurani. Hati dan pikiran jadi mati.
***
Keesokan harinya.
Usai shalat dhuha, Zahid meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Ia hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel buat saudaranya yang sakit. Zahid berjalan melewati kebun kurma yang  luas. Saudaranya pernah bercerita bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah kebun kurma  itu.  Tiba-tiba  dari  kejauhan  ia melihat  titik  hitam.  Ia  terus  berjalan  dan  titik  hitam  itu semakin membesar dan mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup-sayup telinganya menangkap suara, “Toloong! Toloong!!”
Suara  itu  datang  dari  arah  penunggang  kuda  yang  ada  jauh  di  depannya.  Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas.
“Toloong! Toloong!!”
Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas bisa menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang.
“Toloong! Toloong hentikan kudaku ini! Ia tidak bisa dikendalikan!”
Mendengar itu Zahid  tegang. Apa yang harus  ia perbuat. Sementara kuda  itu semakin dekat dan  tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat-cepat  ia menenangkan diri dan membaca shalawat.  Ia  berdiri  tegap  di  tengah  jalan. Tatkala  kuda  itu  sudah  sangat  dekat  ia mengangkat tangan kanannya dan berkata keras,
“Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”
Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda  itu meringkik dan berhenti seketika. Perempuan  yang  ada  dipunggungnya  terpelanting  jatuh.  Perempuan  itu  mengaduh.  Zahid mendekati perempuan itu dan menyapanya,
“Assalamu’alaiki. Kau tidak apa-apa?”
Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan, “Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh.”
“Syukurlah kalau begitu.”
Dua mata bening di balik cadar itu terus memandangi wajah tampan Zahid. Menyadari hal itu Zahid  menundukkan  pandangannya  ke  tanah.  Perempuan  itu  perlahan  bangkit.  Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan memesona, “Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mau ke mana Tuan?” Zahid  mengangkat  mukanya.  Tak  ayal  matanya  menatap  wajah  putih  bersih  memesona.
Hatinya bergetar hebat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia menatap  wajah  gadis  jelita  dari  jarak  yang  sangat  dekat.  Sesaat  lamanya  keduanya  beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya.  Gadis  itu  tersenyum  dengan  pipi  merah  merona,  Zahid  tersadar,  ia  cepat-cepat menundukkan kepalanya. “Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatinya.
“Namaku Zahid, aku dari masjid mau mengunjungi saudaraku yang sakit.”
“Jadi,  kaukah  Zahid  yang  sering  dibicarakan  orang  itu?  Yang  hidupnya  cuma  di  dalam masjid?”
“Tak  tahulah. Itu mungkin Zahid yang  lain.” kata Zahid sambil membalikkan badan. Ia  lalu melangkah.
“Tunggu  dulu  Tuan  Zahid!  Kenapa  tergesa-gesa?  Kau  mau  kemana?  Perbincangan  kita belum selesai!”
“Aku mau melanjutkan perjalananku!”
Tiba-tiba  gadis  itu  berlari  dan  berdiri  di  hadapan  Zahid.  Terang  saja  Zahid  gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Seumur hidup  ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.
“Tuan aku hanya mau bilang, namaku Afirah. Kebun ini milik ayahku. Dan rumahku ada di sebelah  selatan  kebun  ini.  Jika  kau mau  silakan  datang  ke  rumahku. Ayah  pasti  akan  senang dengan kehadiranmu. Dan sebagai ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini.”
Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau muda.
“Tidak usah.”
“Terimalah, tidak apa-apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi jalan!”
Terpaksa Zahid menerima  sapu  tangan  itu. Gadis  itu  lalu minggir  sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kakinya melanjutkan perjalanan.
***
 Saat malam  datang membentangkan  jubah  hitamnya,  kota  Kufah  kembali  diterangi  sinar rembulan. Angin sejuk dari utara semilir mengalir.
Afirah  terpekur  di  kamarnya. Matanya  berkaca-kaca.  Hatinya  basah.  Pikirannya  bingung.
Apa  yang menimpa  dirinya.  Sejak  kejadian  tadi  pagi  di  kebun  kurma  hatinya  terasa  gundah.
Wajah  bersih  Zahid  bagai  tak  hilang  dari  pelupuk  matanya.  Pandangan  matanya  yang  teduh menunduk membuat  hatinya  sedemikian  terpikat.  Pembicaraan  orang-orang  tentang  kesalehan seorang pemuda di tengah kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap wajahnya dan mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tiba-tiba air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata, “Inikah cinta? Beginikah rasanya? Terasa hangat mengaliri syaraf. Juga terasa sejuk di dalam hati. Ya Rabbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada hamba-Mu yang bernama Zahid. Dan inilah untuk  pertama  kalinya  aku  terpesona  pada  seorang  pemuda. Untuk  pertama  kalinya  aku  jatuhcinta. Ya Rabbi, izinkanlah aku mencintainya.”
Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang ia berikan pada Zahid. Tiba-tiba ia tersenyum, “Ah  sapu  tanganku  ada  padanya.  Ia  pasti  juga  mencintaiku.  Suatu  hari  ia  akan  datang kemari.” Hatinya  berbunga-bunga. Wajah  yang  tampan  bercahaya  dan  bermata  teduh  itu  hadir  di pelupuk matanya.
***
Sementara itu di dalam masjid Kufah tampak Zahid yang sedang menangis di sebelah kanan mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam shalat. Ia  tidak  tahu harus berbuat apa.  Sejak  ia  bertemu  dengan  Afirah  di  kebun  kurma  tadi  pagi  ia  tidak  bisa  mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah bercokol dan mengakar  sedemikian kuat dalam  relung-relung hatinya. Aura itu selalu melintas dalam shalat, baca Al-Quran dan dalam apa saja yang ia kerjakan.  Ia  telah  mencoba  berulang  kali  menepis  jauh-jauh  aura  pesona  Afirah  dengan melakukan shalat sekhusyu’-khusyu’-nya namun usaha itu sia-sia.
“Ilahi,  kasihanilah  hamba-Mu  yang  lemah  ini.  Engkau Mahatahu  atas  apa  yang menimpa diriku.  Aku  tak  ingin  kehilangan  cinta-Mu.  Namun  Engkau  juga  tahu,  hatiku  ini  tak mampu mengusir  pesona  kecantikan  seorang  makhluk  yang  Engkau  ciptakan.  Saat  ini  hamba  sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan suaranya Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk  meletakkan  embun-embun  cinta  yang  menetes-netes  dalam  dinding  hatiku  ini.  Ilahi, tuntunlah  langkahku  pada  garis  takdir  yang  paling Engkau  ridhai. Aku  serahkan  hidup matiku untuk-Mu.”  Isak  Zahid  mengharu  biru  pada  Tuhan  Sang  Pencipta  hati,  cinta,  dan  segala keindahan semesta.
Zahid  terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta  terus  ia paksa untuk menepis noda-noda nafsu. Anehnya, semakin  ia meratap embun-embun cinta  itu semakin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan azab-Nya. Rasa cinta dan rindu-Nya pada Afirah. Dan  rasa  tidak  ingin kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir  sedemikian hebat dalam relung hatinya. Dalam puncak munajatnya ia pingsan. Menjelang subuh, ia terbangun. Ia tersentak kaget. Ia belom shalat tahajjud. Beberapa orang tampak  tengah  asyik  beribadah  bercengkerama  dengan  Tuhannya.  Ia  menangis,  ia  menyesal.
Biasanya ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya. “Ilahi,  jangan kau gantikan bidadariku di  surga dengan bidadari dunia.  Ilahi, hamba  lemah maka berilah kekuatan!” Ia lalu bangkit, wudhu, dan shalat tahajjud. Di dalam sujudnya ia berdoa, “Ilahi,  hamba mohon  ridha-Mu  dan  surga. Amin.  Ilahi  lindungi  hamba  dari murkamu  dan neraka. Amin.  Ilahi,  jika boleh hamba  titipkan  rasa  cinta hamba pada Afirah pada-Mu, hamba terlalu lemah untuk menanggung-Nya. Amin. Ilahi, hamba memohon ampunan-Mu, rahmat-Mu, cinta-Mu, dan ridha-Mu. Amin.”
***
Pagi  hari,  usai  shalat  dhuha  Zahid  berjalan  ke  arah  pinggir  kota.  Tujuannya  jelas  yaitu melamar  Afirah.  Hatinya  mantap  untuk  melamarnya.  Di  sana  ia  disambut  dengan  baik  oleh kedua  orangtua  Afirah. Mereka  sangat  senang  dengan  kunjungan  Zahid  yang  sudah  terkenal ketakwaannya  di  seantero  penjuru  kota.  Afiah  keluar  sekejab  untuk membawa minuman  lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan seksama pembicaraan Zahid dengan ayahnya. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah.
Sang  ayah  diam  sesaat.  Ia  mengambil  nafas  panjang.  Sementara  Afirah  menanti  dengan seksama  jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat  lamanya. Zahid menundukkan kepala ia pasrah dengan jawaban yang akan diterimanya. Lalu terdengarlah jawaban ayah Afirah, “Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar Abu Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.”
Zahid  hanya  mampu  menganggukan  kepala.  Ia  sudah  mengerti  dengan  baik  apa  yang didengarnya.  Ia  tidak  bisa  menyembunyikan  irisan  kepedihan  hatinya.  Ia  mohon  diri  dengan mata  berkaca-kaca.  Sementara  Afirah,  lebih  tragis  keadaannya.  Jantungnya  nyaris  pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.
***
 Zahid kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan Zahid ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia dengar dari ayah Afirah membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali-kali ia pingsan. Ketika keadaannya kritis seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istigfhar dan … Afirah.
Kabar  tentang  derita  yang  dialami  Zahid  ini  tersebar  ke  seantero  kota Kufah.  Angin  pun meniupkan kabar  ini ke  telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang  tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek,  
 
 Kepada Zahid,
Assalamu’alaikum

Aku  telah mendengar betapa dalam  rasa cintamu padaku. Rasa cinta  itulah yang membuatmu  sakit  dan menderita  saat  ini. Aku  tahu  kau  selalu menyebut  diriku dalam  mimpi  dan  sadarmu.  Tak  bisa  kuingkari,  aku  pun  mengalami  hal  yang sama.  Kaulah  cintaku  yang  pertama. Dan  kuingin  kaulah  pendamping  hidupku selama-lamanya.
Zahid,
Kalau  kau mau. Aku  tawarkan  dua  hal  padamu  untuk mengobati  rasa  haus  kita berdua. Pertama, aku akan datang ke tempatmu dan kita bisa memadu cinta. Atau kau datanglah ke kamarku, akan aku tunjukkan jalan dan waktunya.
Wassalam
Afirah
 ===============================================================
 
Surat  itu  ia  titipkan pada  seorang pembantu  setianya yang bisa dipercaya.  Ia berpesan agar surat itu langsung sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawaban Zahid saat itu juga.
Hari  itu  juga  surat  Afirah  sampai  ke  tangan  Zahid.  Dengan  hati  berbunga-bunga  Zahid menerima  surat  itu  dan membacanya.  Setelah  tahu  isinya  seluruh  tubuhnya  bergetar  hebat.  Ia menarik  nafas  panjang  dan  beristighfar  sebanyak-banyaknya.  Dengan  berlinang  air  mata  ia menulis untuk Afirah :

Kepada Afirah,
Salamullahi’alaiki,
 
Benar  aku  sangat mencintaimu. Namun  sakit  dan  deritaku  ini  tidaklah  semata-mata karena  rasa  cintaku padamu. Sakitku  ini karena  aku menginginkan  sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah  ‘Azza Wa Jalla’.  Inilah yang kudamba. Dan  aku  ingin mendamba yang  sama. Bukan  sebuah  cinta yang menyeret kepada kenistaan dosa dan murka-Nya.
Afirah,
Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwa ini  dengan  secangkir  air  cinta  dari  surga. Bukan  air  timah  dari  neraka. Afirah, “Inni  akhaafu  in  ‘ashaitu Rabbi  adzaaba  yaumin  ‘adhim!”  (  Sesungguhnya  aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada Rabb-ku. Az Zumar : 13 )
Afirah,
Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang bisa aku  lakukan  saat  ini  kecuali  menangis  pada-Nya.  Tidak  mudah  meraih  cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya : “Wanita-wanita yang  tidak baik adalah untuk  laki-laki yang  tidak baik, dan  laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh)  itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu surga).” Karena  aku  ingin mendapatkan  seorang  bidadari  yang  suci  dan  baik maka  aku akan berusaha kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang menentukan.
Afirah,
Bersama  surat  ini  aku  sertakan  sorbanku,  semoga  bisa  jadi  pelipur  lara  dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.   
Wassalam,
Zahid
===============================================================
 
Begitu membaca jawaban Zahid itu Afirah menangis. Ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis  karena  menemukan  sesuatu  yang  sangat  berharga,  yaitu  hidayah.  Pertemuan  dan percintaannya dengan seorang pemuda saleh bernama Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya. Sejak  itu  ia menanggalkan  semua gaya hidupnya yang glamor.  Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya  sepenuhnya  untuk  akhirat.  Sorban  putih  pemberian Zahid  ia  jadikan sajadah,  tempat  dimana  ia  bersujud,  dan menangis  di  tengah malam memohon  ampunan  dan rahmat Allah SWT. Siang  ia  puasa malam  ia  habiskan  dengan  bermunajat  pada Tuhannya. Di atas  sajadah  putih  ia menemukan  cinta  yang  lebih  agung  dan  lebih  indah,  yaitu  cinta  kepada Allah SWT. Hal yang sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya benar-benar larut dalam samudera cinta kepada Allah SWT.
Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Zahid menerima sepucuk surat dari Afirah :
  
Kepada Zahid,
Assalamu’alaikum,
 
Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar hamba-Nya yang bertakwa. Hari  ini ayahku memutuskan  tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah  terbuka  hatinya.  Cepatlah  kau  datang  melamarku.  Dan  kita  laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasululullah SAW. Secepatnya.
Wassalam,
Afirah
===============================================================
Seketika  itu  Zahid  sujud  syukur  di mihrab masjid  Kufah.  Bunga-bunga  cinta  bermekaran
dalam hatinya. Tiada henti bibirnya mengucapkan hamdalah.

Kalender

Waktu

Gita Bahana Nada

Google Translate

Daftar Isi

Blog Archive

Yahoo Messenger

Buku Tamu


ShoutMix chat widget

Al-Qur'an Online