Jadwal Sholat

Kalender Hijriyah

Asma'ul Husna

Profil

Foto Saya
Syaiful Rohman
Hanyalah seorang Makhluk Allah SWT yang banyak berlumuran dosa, serta memohon akan ampunannya. Semoga semua dosa-dosa yang telah kulakukan semuanya dapat di ampuninya serta digantikan dengan kebajikan-kebajikan.Serta saat ini sedang mendambakan seorang kekasih yang dapat dijadikan sebagai pendamping hidup untuk melaksanakan sunnah Rosul Muhammad SAW...
Lihat profil lengkapku

Radio Muslim

TV Qur'an

Daftar Pengunjung

Jangan Ajarkan Anak Berani Mati

Wanita itu baru saja ditinggal wafat suaminya. Ia salah seorang muslimah generasi tabi'in. Almarhum meninggalkannya sekian banyak anak. Berarti sekian mulut kini menjadi tanggungannya. Padahal si ibu tak pernah berpikir ia harus bertarung berpayah-payah menggantikan posisi suaminya menghidupi anak-anak.

Panikkah si ibu? Tidak! Bahkan ketika sebuah pertanyaan keprihatinan dilontarkan kepadanya; "Apa ibu tidak cemas dengan kematian suami ibu?" Si ibu dengan tenang menjawab, "Saya tidak khawatir. Bukankah suami saya juga tukang makan, bukan Yang Memberi Makan? Jadi apa alasan saya untuk takut?"

Sebuah ekspresi keberanian hidup yang luar biasa. Makhluk yang selama ini kerap dianggap lemah oleh kaum laki-laki itu ternyata memiliki nyali petarung yang besar. Ada pelajaran amat berharga sekaligus amat langka yang ia ajarkan pada kita. Bahwa hidup adalah sebuah pertarungan. Maka siapa yang tak berani bertarung dan menerima kenyataan hidup, lebih baik jangan hidup.

Ibu itu tak takut menghadapi realita hidup. Ia tak lari dari kenyataan. Bahkan dengan optimis ia akan hadapi kenyataan yang mungkin saja saat itu ia rasakan pahit. Saat ini barangkali manusia sekaliber tabi'in itu kian langka kita temui. Manusia yang berani hidup.

Saat ini yang justru banyak kita temui adalah orang yang berani mati. Kasus-kasus sepasang muda-mudi putus-cinta, lalu menempuh jalan pintas mengakhiri hidup mereka, sangat banyak. Dengan melompat dari atas gedung berlantai, minum Baygon, atau menceburkan mobil mereka ke jurang.

Kisah-kisah berani mati orang yang putus asa, lantaran dililit hutang. Atau tak tahan menderita kesakitan yang amat. Semua kisah itu mungkin cukup sering kita dengar atau baca. Di Jepang misalnya, terdapat sebuah perkumpulan orang-orang yang ingin mengakhiri hidupnya dengan cara harakiri (bunuh diri). Sebuah kanal yang menyediakan peluang bagi kaum fatalis yang ingin lari dari masalah hidup.

Entah kita juga tak mengerti makna ungkapan yang dijadikan moto salah satu korps tentara kita: "Lebih Baik Pulang Tinggal Nama, Daripada Gagal Dalam Tugas." Apakah ungkapan ini menyiratkan sebuah ekspresi keberanian hidup atau sebaliknya, ketakutan menghadapi kenyataan hidup?

Saat ini boleh jadi orang begitu sering mengajarkan doktrin berani mati. Tapi jarang sekali orang diajarkan berani hidup. Termasuk mungkin apa yang selama ini kita ajarkan pada anak-anak kita.

Sadar atau tidak, jangan-jangan kita pun telah terbiasa mengajarkan anak-anak tak berani hidup alias berani menghadapi realita. Sebagai contoh sederhana misalnya, ketika kita mendapatkan sebuah pajangan kesayangan kita pecah. Dengan serta merta kita pun nyap-nyap; "Ya ampun, siapa ini yang mecahkan pajangan kesayanganku!"

Hampir-hampir suara itu terdengar tetangga kiri-kanan depan-belakang. Kebetulan yang memecahkan barang itu adalah salah seorang anak kita tanpa disengaja. Tapi mendengar suara melengking bak halilintar itu, anak kita pun mengkeret diam seribu bahasa. Siapa yang berani hatta seorang anak paling bernyali sekalipun, secara gentle mengakui perbuatannya? Sementara mata kita melotot dan gigi gemeretuk.

Tanpa sengaja kita telah mengajarkan anak-anak kita berbohong. Mereka secara tidak langsung kita arahkan menjadi orang yang pengecut untuk mengakui perbuatannya. Padahal mentalitas takut menghadapi kenyataan hidup, sangat tidak kondusif bagi seseorang hidup di abad kiwari yang kian kompetitif ini.

Begitu juga tak sedikit para ibu yang mungkin secara tidak sadar telah mengajarkan bohong pada anak, ketika ia misalnya bersenandung mengiringi sang anak tidur. "Nina bobok ooh nina bobok. Kalau tidak bobok digigit nyamuk." Padahal syair ini bertentangan dengan logika. Bukankah nyamuk relatif lebih berani menggigit anak yang telah tidur, ketimbang anak yang masih terjaga?

Selain itu banyak kebiasaan keliru tak jarang masih dilakukan sebagian besar para ibu. Misalnya ketika anak jatuh, ia tak mengingatkan si anak agar berhati-hati. Tapi sebaliknya si ibu malah mencari kambing hitam. "Cep cep...nak. Uh nakal ini lantainya," seru si ibu sembari memukul lantai di mana anaknya jatuh.

Yang juga patut kita perhatikan, bahwa tak sedikit syair lagu mengajarkan semangat putus asa pada anak. Contohnya syair lagu "Balonku Ada Lima" yang berbunyi: "Meletus balon hijau, hatiku sangat kacau." Semangat syair ini adalah semangat keputus-asaan. Baru meletus satu balon saja, hati kacau. Bagaimana jadinya jika yang hilang jauh lebih berharga dari itu?

Lebih berbahaya jika anak sudah mulai menggemari lagu-lagu orang dewasa yang sama sekali tak mendidik. Misalnya syair "aku tak bisa hidup tanpa dirimu di sisiku." Selain bodoh, tidak masuk akal, pesan syair itu juga menunjukkan kekerdilan jiwa dan keputusasaan. Karena itu jauhkanlah anak dari syair-syair fantasi yang mengajarkan mentalitas pengecut.

Agaknya perlu kita camkan, bahwa bohong selalu saja menurunkan sifat penakut. Padahal hanya ada dua kemungkinan fatal bagi orang bermental pengecut, ketika ia dihadapkan pada sebuah kenyataan pahit. Pertama ia akan mengelabui orang-orang untuk menghindari hukuman, atau minimal cibiran. Kedua ia mengambil keputusan nekad: bunuh diri. Dua perbuatan itu intinya sama yakni putus asa.

Putus asa. Sebuah pilihan yang sungguh amat dicela Islam, lantaran bertentangan dengan doktrin tauhid. Dengan kata lain, semangat tauhid hakikatnya selalu paradoks secara diametral dengan semangat pengecut alias semangat putus asa.

Alquran mengilustrasikan semangat pantang menyerah orang-orang mukmin betapapun mereka dihadapkan dengan berbagai penderitaan dan kesulitan.

"Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah. Dan tidak lesu, serta tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar." (QS 3:146)

Alquran juga menghasung kita untuk berlaku jujur dalam menegakkan keadilan. Sekaligus melarang kita menghindari konsekuensi objektif walau beresiko pahit, hanya lantaran kita membenci suatu kaum.

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu pada suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berbuat adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS 5:8)

Sebaliknya Alquran juga menandaskan, bahwa putus asa adalah sifat orang-orang kafir. "Hai anak-anakku, pergilah kamu. Maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya. Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum kafirin." (QS 12:87).

Mulai sekarang, ajarkanlah anak supaya jujur. Jujur untuk mengakui kenyataan yang beresiko pahit sekalipun. Sebaliknya, kita pun harus menunjukkan kelapangan dada pada anak ketika menerima kenyataan pahit sebagai sebuah takdir Ilahi. Tanpa harus marah atau uring-uringan. Sebab kejujuran akan selalu melahirkan keberanian menerima kenyataan hidup serta keberanian menyongsong hidup.

Betapa kita rindu pada keluarga Muslim yang mampu melahirkan manusia sekaliber Izzudin Al Qosam misalnya. Seorang founding father jihad Palestina. Atau setegar Syaikh Ahmad Yassin yang betapapun tak berdaya tubuhnya di atas kursi roda, tapi semangat jihadnya mampu meruntuhkan kesombongan dan kedegilan Zionis Israel. Lelaki lumpuh itu mampu membangkitkan semangat jihad yang telah melahirkan ribuan syuhada Palestina.

Sebagaimana juga kerinduan para ibu di Palestina untuk bisa mencetak kembali sebanyak-banyaknya syuhada sekaliber Yahya Ayyash "al Muhandis" - sang Insinyur. Syuhada yang telah mengobrak-abrik jantung pertahanan Israel, Tel Aviv, lewat bom-bom syahidnya yang luar biasa.

Mereka adalah bagian dari deretan para petarung yang selalu berani menghadang kematian. Tapi mereka bukanlah tipikal manusia yang berani "asal mati". Justru mereka adalah para manusia yang telah menunjukkan keberanian hidup dalam pahit-getir perjuangan. Padahal jika saja takut hidup, mereka sudah jauh-jauh hari melakukan persekongkolan dengan Zionis Israel. Dengan imbalan tentunya posisi dan kemewahan fasilitas duniawi yang telah dijanjikan Yahudi kepada mereka.

Lantaran itu jangan ajarkan anak berani mati. Tapi ajarilah mereka berani menghadapi pahit-getir kehidupan. Maka sejak sekarang ada baiknya kita, saat-saat ketika mengantar anak tidur, lagu "Nina Bobok" yang biasa kita senandungkan, kita ganti syairnya dengan syair sebagai berikut:
"Tidurlah tidur wahai mujahid cilik
Kelak besar kau jadi tentara Allah
Bismikallahumma ahya wa amuut...
Bismikallahumma ahya wa amuut...!"

Kalender

Waktu

Gita Bahana Nada

Google Translate

Daftar Isi

Yahoo Messenger

Buku Tamu


ShoutMix chat widget

Al-Qur'an Online